Tragedi Semanggi
Pada
bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa
untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang
akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan
ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta
pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat
dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi
ABRI/TNI karena dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah bisa
maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari
yang sudah berlalu, jadi, boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang
diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap
hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar
lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari dunia
internasional terlebih lagi nasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di
Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mecegah
mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian
ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah
tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan bahwa
perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu
mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.
Pada
tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju
ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada
yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara,
Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk
diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di
daerah Slipi dan puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu
Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah
sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Esok
harinya Jum'at tanggal 13 November 1998 ternyata banyak mahasiswa dan
masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya,
bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di depan kampus Atma Jaya Jakarta.
Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga
siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan
masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah
sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah
masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan
sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat
masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu
juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat dan saat di jalan itu juga
sudah ada mahasiswa yang tertembak dan meninggal seketika di jalan. Ia adalah Teddy Wardhani Kusuma, merupakan korban meninggal pertama
di hari itu.
Mahasiswa
terpaksa lari ke kampus Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan dan
masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang
nama lengkapnya adalah Bernadus R Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma
Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong
rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari
jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan
terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan saat itu juga lah semakin banyak
korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang
mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut
dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu hingga jumlah
korban yang meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat.
Indonesia kembali membara tapi kali ini tidak menimbulkan kerusuhan.
Anggota-anggota
dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan
tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa,
jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang
sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk
biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan
tentara".
Betapa
menyakitkan perlakuan mereka kepada masyarakat dan mahasiswa korban peristiwa
ini. Kami tidak akan melupakannya, bukan karena kami tak bisa memaafkan, tapi
karena kami akhirnya sadar bahwa kami memiliki tujuan yang berbeda dengan
mereka. Kami bertujuan memajukan Indonesia sedangkan mereka bertujuan memajukan
diri sendiri dan keluarga masing-masing. Sangat jelas!
Tragedi Semanggi II
Bangsa
Indonesia harus mengucurkan air matanya kembali. Untuk yang kesekian kalinya
tentara melakukan tindak kekerasan kepada mahasiswa dalam menghentikan
penolakan sikap mahasiswa terhadap pemerintahan. Lokasi penembakan mahasiswa
pun di tempat yang sangat strategis yang dapat dipantau oleh banyak orang
awam yaitu di bawah jembatan Semanggi, depan kampus Universitas Atma Jaya
Jakarta, dekat pusat sentra bisnis nasional maupun internasional.
Kala
itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan
Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut
banyak kalangan dan mahasiswa sangat memberikan keleluasaan kepada militer
untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah
mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang
diberlakukannya UU PKB karena ini menentang tuntutan mereka untuk menghilangkan
dwifungsi ABRI/TNI. Karena hanya dengan berdemonstrasi, mereka yang mau
mensahkan Undang-Undang tersebut baru berpikir, sebab tampaknya mereka sudah
tak punya hati nurani lagi dan entah bagaimana membuat mereka peduli dengan
bangsanya daripada peduli terhadap perut buncit mereka itu yang duduk di
kursi parlemen menggunakan logo Pancasila dengan bangganya di jas mereka.
Malang
nasib mahasiswa yang selalu harus berkorban, kali ini mahasiswa Universitas
Indonesia harus kehilangan seorang pejuang demokrasi mereka, Yun Hap. Sungguh pedih bagi mereka yang
terus mengikuti perjuangan mahasiswa karena ketika setiap kali mereka
berjuang mereka harus mengorbankan jiwa mereka demi tegaknya demokrasi di
Indonesia.
|
|